Friday, 10 January 2014

Kesederhanaan Rasulullah



Suatu hari ‘Umar bin Khaththab R.A. menemui Rasulullah SAW di kamar beliau, lalu Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah lapuk. Jejak tikar itu pun membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di kepala beliau. Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).


Air mata Umar bin Khaththab r.a. pun meleleh. Ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi PIMPINAN TERTINGGI umat Islam itu. Rasulullah SAW melihat air mata Umar R.A. yang berjatuhan, lalu bertanya “Apa yang membuatmu menangis, Wahai Ibnu Khaththab ?”

Umar R.A. menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar, “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di punggungmu, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemarimu ? Kisra dan Kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasurnya terbuat dari beludru dan sutera, serta dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi Allah dan manusia pilihan Allah !”

Lalu Rasulullah SAW menjawab dengan senyum tersungging di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”

‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)

Betapa Rasulullah SAW sangat sederhana. Ia menyadari bahwa akhirat jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.